Mereka, para menteri, pandai bicara dalam bahasa intelektual antarelite, namun gagal membuat strategi komunikasi dengan masyarakat guna melakukan sosialisasi kebijakan politik jangka panjang yang argumentatif, melahirkan konsultasi publik, serta panduan pemetaan serta pemecahan masalah. Yang selalu lahir hanyalah reaksi spontan dan upaya komunikasi tiba-tiba, ketika krisis komunikasi terhadap kebijakan politik muncul dalam beragam bentuknya. Sungguh ironis, kebijakan Presiden menyangkut bantuan langsung ekonomi di tengah krisis justru di-tentang oleh berbagai kepala desa. Ini menunjukkan adanya krisis komunikasi." Inilah keluhan se-orang ekonom senior dalam diskusi terbatas.
Keluhan di atas selayaknya dicermati mengingat adanya anggapan bahwa Presiden lebih banyak berkomunikasi untuk menyelamatkan popularitas citra pribadi ketimbang mengembangkan strategi komunikasi kebijakan pembangunannya. Sementara para menteri, yang tidak cukup fasih mengelola citra pribadi, nyaris hanya populer sekiranya timbul masalah besar di masyarakat yang berkait dengan lingkup kerjanya.
Sebutlah, masalah kenaikan harga BBM, harga pangan, isu lumpur Lapindo, flu burung, dan lain-lain. Catatan di atas perlu mendapat deskripsi sendiri justru ketika politik hidup di tengah abad industri iklan politik dan pertempuran pendapat umum yang begitu cepat lewat tekno-kapitalis, mulai dari televisi, radio, koran, email, hingga sms. Sebutlah "pertempuran" mengelola pendapat umum dari kubu Wiranto dengan kubu Susilo Bambang Yudhoyono tentang kenaikan harga BBM.
Hilangnya Negarawan
Salah satu prasyarat kenegarawanan adalah kemampuan ber- komunikasi dalam tiga aspek keutamaan. Pertama, kemampuan komunikasi antarelite untuk mempertahankan kekuasaan serta mendapat dukungan terhadap kebijakan dan pelaksanaannya. Sebutlah kemampuan diplomasi terhadap pilar-pilar utama kekuasaan politik, seperti DPR, partai, militer, hingga kelompok agama. Agaknya, pemerintahan Yudhoyono lebih disibukkan pada wilayah ini.
Yang harus di catat adalah prasyarat kenegarawanan kedua, yakni kemampuan Presiden dan pembantu-pem- bantunya berkomunikasi kepada masyarakat umum. Tujuannya, melakukan sosialisasi dan konsultasi publik perihal kebijakan maupun pemetaan masalah, serta upaya pemecahan masalah di berbagai bidang Tugas utamanya, selain memandu masyarakat untuk mampu memahami kebijakan pembangunan sekaligus pemberdayaan serta partisipasi warga.
Kalaupun pemerintah sangat sulit menahan laju kenaikan harga pangan hingga BBM, menjadi kewajiban pemerintah untuk menjelaskan secara sederhana dalam forum kenegaraan bersifat khusus dan serius agar terakses masyarakat. Sayang, hal ini tidak dilakukan dengan cukup serius sekaligus menjadi penanda rendahnya rasa krisis elite politik. Yang muncul hanyalah berita kenaikan harga minyak dan kebijakan bantuan tunai langsung secara mendadak, ketika demonstrasi sudah marak. Sebelumnya, hanyalah lintasan berita kenaikan BBM, yang melahirkan ketidakpastian serta spekulasi dalam beragam perspektif . Contoh kasus lain, simak berita penanganan flu burung di Korea Selatan. Meski dalam hitungan detik berita, namun penggambaran visual keseriusan penanganan di wilayah terjangkit serta pengumuman serius birokrat terkait menghadirkan citra rasa krisis serta kerja serius pemerintah Korea Selatan, yang mendorong partisipasi keteladanan.
Prasyarat ketiga kenegarawanan adalah kemampuan membangun media komunikasi bersifat publik yang kompetitif dan terakses di tengah perlombaan informasi dan komunikasi dengan media komersial. Dengan kata lain, di tengah abad televisi selayaknya di- efektifkan peran TVRI sebagai lembaga penyiaran publik, yang sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Penyiaran.
Haruslah dicatat, di masa transisi krisis era 90-an, Korea Selatan memberdayakan lembaga penyiaran publiknya, (KBS), menjadi mimbar terbesar panduan kebijakan, partisipasi maupun pengawasan publik. Lembaga Penyiaran Publik, baik televisi maupun radio, sesungguhnya memiliki dua prasyarat utama, yang justru sangat penting untuk mendukung strategi komunikasi publik dari suatu pemerintahan. Di satu sisi, lembaga Penyiaran Publik wajib meliput jalannya roda pemerintahan secara kritis. Di sisi lain, program-programnya berpihak kepada pemberdayaan masyarakat sipil. Oleh karena itu, meski sebuah program tidak populer, sebutlah kebijakan penanaman jenis padi tertentu, namun karena dibutuhkan Indonesia sebagai masyarakat agraris, program tersebut menjadi skala prioritas. Pada gilirannya, televisi publik menjadi mimbar terbesar nilai keutamaan bangsa, baik wilayah ilmu pengetahuan, seni, olahraga, hiburan maupun program pemberdayaan warga.
Kompetisi Strategi
Sekiranya kondisi semacam itu terwujud di Indonesia tidak perlu khawatir program pemerintahan yang berkualitas dan efektif akan kehilangan ruang komunikasi dengan publik. Pada gilirannya muncul kompetisi sifat ke- pemimpinan kenegarawanan dalam memandu masyarakat, sekaligus kompetisi strategi komunikasi mengelola kebijakan secara kritis antarlembaga birokrasi. Dengan begitu, kebijakan strategis, seperti energi, mampu disiapkan dalam jangka panjang.
Ironisnya, TVRI sebagai lembaga penyiaran publik justru ke- hilangan kompetisi dan kemampuan komunikasi publiknya di- banding lembaga penyiaran komersial. Alhasil, para menteri dan birokrasi di bawahnya menggantungkan sosialisasi kebijakan program lewat televisi swasta. Sebutlah, lewat berbagai bentuk iklan layanan masyarakat. Dilemanya, muncul paradoks, yakni anggaran yang terbatas harus berhadapan dengan harga beli waktu tayang komersial yang sangat mahal.
Akibatnya, waktu sosialisasi program menjadi sangat pendek dan dalam waktu tayang kurang efektif dan muncul ketika krisis komunikasi sudah menyebar. Simak, "pertempuran" pendapat tentang BBM di televisi sekarang ini. Kalaupun kemudian pemerintah bergantung kepada kesadaran liputan televisi swasta harus disadari bahwa kebijakan publik sering jauh dari sifat sensational dan populer. Hal ini pastilah bertolak belakang dengan hukum televisi swasta yang serba rating atas dasar kepopuleran. Menjadi wajar kondisi di atas menjadikan masyarakat tidak cukup mengenal para menteri dan kebijakan program pembangunannya, karena tidak cukup terampil tampil di televisi dan kehilangan media komunikasi publiknya. Menjadi wajar kebijakan pemerintahan hanya dikelola ketika krisis besar yang menarik perhatian publik muncul.
Catatan di atas menunjukkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak cukup serius memberikan perhatian pada strategi komunikasi sebagai investasi modal sosial, yang akan menjaga daya hidup modal ekonomi dan politik. Di tengah berbagai beban krisis rakyat ruang publik berbangsa hanya dipenuhi komunikasi yang penuh krisis, vulgar, kekerasan, sensasi, konsumtif, serta per- tempuran elite, sekaligus kehilangan kepemimpinan, panduan nilai serta arah kebijakan pembangunan. Yang tertinggal, hanyalah pro dan kontra kebijakan pada saat kebijakan diturunkan, yang hanya bersifat sporadis, melengkapi riuh-rendah komunikasi antarelite politik menjelang pemilu, dihiasi berita pejabat bermasalah, kehidupan sosial ekonomi penuh duka, serta penyakit sosial yang penuh ironi, seperti keluarga yang bunuh diri. Layaknya opera sabun rakyat hanya menjadi penonton, politik hanya jadi hiburan.fq
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar